Rabu, 01 Juli 2009

Bersyukur....

Hari ini baru ke panti jompo (setelah sekian lama kalo ke panti, selalu memilih panti asuhan saja)

Dan mulai menangis...

Jika melihat panti asuhan, seakan melihat masa lalu kita yang terlalu indah, merasakan yang namanya 'keluarga'
namun, jika menengok panti jompo, kekuatiran mulai muncul...
Apakah suatu saat saya yang akan berada di salah satu barak ini?
Apakah saya akan dibuang oleh anak-anak saya?
Apakah saya akan mulai pikun dan mulai meracau butuh perhatian?
Atau apakah saya akan pura-pura tegar dan menunggu belas kasihan orang-orang yang mungkin hanya akan datang sekali saja ke panti?

Entah apa yang saya tangisi..
Tadinya tujuan ke panti untuk menghibur jiwa sendiri, menyembuhkan jiwa yang sakit dan mencoba bersyukur bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan saya...
Namun, saya jadi gundah..
Apakah saya menangisi kemungkinan masa depan saya tidak lebih baik dari mereka?
Atau kasihan terhadap mereka?

Tidak, saya tidak kasihan...
Saya bangga terhadap mereka...
Mereka yang selalu optimis dalam memandang kehidupan...
Yang selalu tertawa karena dikelilingi teman-teman yang senasib...
Padahal mungkin di dalam hati tertawa getir dan merindukan keluarganya..
Tak pernah terlintas untuk mengakhiri kehidupannya secepat atau sepraktis mungkin...
Padahal saya rasa mereka jauh lebih menderita dibanding permasalahan saya..

"Mereka selalu senang dan ada aktifitas, mbak. Bercerita tentang masa lalu mereka yang membahagiakan. Ada juga yang meratapi nasib tapi disini, semua saling mendukung. Itu yang membuat saya betah disini. Walau tanpa gaji, saya merasa saya mendapat banyak rejeki, berkah dan doa. Ya pasti dong, kita didoakan sama orang-orang tua loh. Ini kan contoh masa depan kita."

Ya, benar.. Mereka adalah gambaran masa depan saya.
Berbagai kemungkinan bisa terjadi. Tak ada yang bisa menjamin saya tidak akan pernah kesini lagi sebagai 'penghuni tetap', bukan 'pengunjung'.

Tak henti air mata jatuh, namun tak satupun dari mereka yang menangis, sampai saya jadi malu.

"Neng cantik, asalnya darimana?"
"Jakarta,nek."
"Oh Jakarta. Sprechen Deutch?"
"Aduh maaf nek, gak bisa bahasa Belanda."
"Oh, gak papa. Neng cantik masih muda, harus kuat. Nenek doakan neng cantik bahagia. Sukses. Rajin berdoa yah. Mumpung muda, jangan suka sedih."
"Iya,nek. Amin. Makasi ya,nek."

Dan mulai menangis. Saya dipeluk olehnya. Tertampar. Ya, ternyata Tuhan sedang berbicara kepada saya lewat tubuh renta ini.

Terkadang kita butuh teman yang mengerti permasalahan kita.
Yang dapat memberi saran terbaik, dewasa, objektif, netral, support, dan lain-lain.

Namun saya belajar hari ini, bahwa terkadang saran dan dukungan terbaik, tidak selamanya datang dari orang yang berpendidikan, tidak juga dari pakar atau ahli.
Terkadang, itu keluar dengan cara yang sederhana.
Dan hari ini, dari seorang nenek renta, yang tak punya keluarga sama sekali.
Suaminya dibunuh tentara Jepang, anak-anaknya diperkosa oleh kempetai.
Dan dia masih bisa menasehati saya hari ini.

Sungguh, saya tak punya alasan apapun untuk tidak bersyukur.

Terima kasih, nenek. Entah namamu siapa, tapi nenek telah menjadi malaikat saya hari ini.


*hari pertama di bulan Juli, 50 tahun berselang setelah Jepang menduduki Indonesia

1 komentar:

rinaldi mengatakan...

wawwww merinding jadinyaa