Jumat, 12 Desember 2008

memaafkan

satu kata sakti dan yang mungkin paling susah diucap adalah "maaf"
kadang kita tidak menyadari kesalahan sendiri,
justru lebih cekatan melihat kesalahan kecil orang lain.

hari ini aku belajar...
bahwa memaafkan adalah sesuatu yang sangat sulit
bahkan untuk sebuah masalah yang kecil.

kesombongan dan ego hati manusia adalah musuh dalam hidup.
bahkan dalam sebuah hubungan.
aku jadi saksi untuk itu.
bahkan sekarang, aku terjebak menjadi pelaku.

namun, dengan mudahnya mengucapkan maaf,
lantas apa yang tersisa?
orang itu akan mengulanginya lagi.. dan lagi..

ada seorang teman yang sangat mudah memaafkan
dan aku lihat akhirnya hidupnya hanya jadi 'keset' untuk orang lain
aku tidak ingin sepertinya, iya, aku tidak ingin.

namun, aku ingin belajar.
bahwa sebuah kata 'maaf' adalah obat dalam segala hal.
kesakitan, luka hati, amarah, benci, bahkan dendam.

aku selalu ingin belajar.
untuk memaafkan.

PS: "maaf ya.... karena aku sudah memaafkanmu..."

Rabu, 10 Desember 2008

Tentang waktu

Aku tidak pernah tahu bahwa waktu memiliki mesin.
JIka ia, bagaimana jika ia rusak?
Banyak orang bilang, andai waktu bisa diputar.
Tapi, waktu bukan jam.
Waktu juga bukan benda yang bisa diputar-putar.
Setau aku, waktu itu berjalan.
Bukan merangkak, karena waktu bukan bayi.
Bukan juga berlari, karena sifat waktu sebenarnya tidak mau terburu-buru.
Tapi berjalan.
Anggun.
Tanpa beban.
Menjadi penonton atas segala peristiwa dalam hidup.
Waktu tidak pernah berbicara karena tidak punya mulut.
Waktu tidak juga pernah tertawa karena tidak punya rasa.
Tapi, waktu punya mata.
Mata untuk melihat dan menilai semua perbuatan manusia di bumi.
Yang menjadi cerminan bagi Dia untuk kemudian meminta pertanggung jawaban kita.
Waktu juga punya kaki untuk berjalan.
Waktu juga punya daya yang tak pernah habis.
Hingga saatnya, Dia Yang Maha Tahu bisa memberhentikan waktu.
Dan setahuku,
waktu saat ini berdiri di sebelahku.
Melihat segala tangisanku.
Melihat segala kediamanku.
Namun waktu tetap ingin berjalan.
Mengajakku berjalan.
Hanya berdua.
Aku dan waktu.

Rabu, 03 Desember 2008

Menjadi yang sempurna

Ada sepasang suami istri, yang di mata masyarakat sangatlah sempurna.
Namanya Rere dan Vito.
Rere seorang ibu rumah tangga yang baik, selalu mengasuh kedua anaknya dengan baik,
jago masak, pintar menjahit, bahkan bisa naik genting jika atap rumah bocor.
Tak pernah sekalipun ia mengeluh.
Sosok menantu, ibu dan istri yang sempurna.

Vito adalah sosok lelaki karismatik, pekerja keras dan cinta keluarga.
Mertuanya selalu bangga dengan Vito, apalagi baru-baru ini ia mendapatkan jabatan sebagai enterpreneur muda tahun ini di sebuah majalah.

Suatu hari, Vito yang selalu tepat waktu pulang dari kantor, mendadak terlambat sampai rumah.
Tanpa penjelasan, Vito hanya terkapar lelah di sofa.
Melihat suaminya, Rere bergegas memberikan teh hangat dan menawarkan makan malam.
Namun Vito menghindar, dia bilang sudah makan dan pergi menuju ruang kantornya.

Rere yang bingung, berusaha memaklumi sikap suaminya.
Asumsinya bahwa Vito pasti lelah karena ada masalah di kantor.
Rere berniat menunggu suaminya hingga ke kamar tidur.
Namun ternyata ia menyerah.
Dan seingatnya,Vito baru berada di samping ranjangnya ketika jam 12 malam.
Tanpa ucapan selamat malam.

Ketika bangun, Vito hanya diam.
Rere bertanya apa yang terjadi, namun Vito hanya tersenyum dan berkata tidak ada apa-apa.
Vito memandang kedua anak mereka, tanpa kata-kata.
Rere bingung, namun ia memilih tidak berkomentar.
Tidak baik terlalu banyak bertanya.

Malam berikutnya, hanya siksaan buat Rere.
Setiap malam Vito selalu pulang terlambat, tanpa alasan dan menuju ruang kantor.
Dan baru menghampiri ranjang ketika ia sudah terlelap.
Keesokan paginya lebih parah.
Bahkan Vito sekarang sering absen mengantar anak-anaknya ke sekolah.

Rere termenung. Ada apa? Apa yang terjadi?

Setelah genap seminggu kelakuan Vito tak berubah, Rere memberanikan diri bertanya padanya.
"Ada apa, mas?" tanyanya lirih.
"Maksudnya?"
"Kamu berubah."
"Berubah? Oh ya?"
"Jujur padaku. Ada apa?"
Sejenak Vito memandangi mata istrinya. Sempurna, ujarnya dalam hati.
Ia kagum pada wanita yang dinikahinya.
"Gak ada apa-apa. Aku bersyukur memiliki kamu. Kamu sempurna."
Namun, dalam sekejap kekagumannya hilang.
Berganti dengan bola mata kesedihan.
Dan ia berusaha tersenyum pada Rere.
"Tidurlah sana. Aku cuma lelah, kerjaan banyak. Nanti aku nyusul ya."
Rere yang masih ragu, memilih mengikuti saran suaminya.

Namun, hatinya menangis.
Seminggu Vito tidak memperdulikannya.
Bahkan ketika salah satu dari anak mereka terlibat perkelahian di sekolah,
Vito hanya mengusap kepalanya dan berkata "Jangan diulangi."
Vito nampak tidak konsentrasi lagi.
Jiwanya bukan di rumah lagi, sudah melayang entah kemana.
Dan tugas Rere untuk mencari tahu.

Dengan hati-hati Rere keluar kamar.
Menuju ruang kerja Vito, ingin mengetahui apa yang suaminya kerjakan.
Pergulatan hatinya memacu adrenalinnya.
Ia merasa seperti maling di rumah sendiri, mengendap-endap demi mengetahui apa yang Vito kerjakan.

Ternyata pintu tidak ditutup, sedikit terbuka.
Vito terlihat sedang menelepon dari selulernya.
Ada gelak tawa yang terdengar dari bibirnya.
Dan gumaman tanda ikut memikirkan sesuatu.
Serta nada yang pelan dan santai, seperti orang yang sedang jatuh cinta.

Rere seperti deja vu.
Ia pernah mengalami ini. Merasakan ini.
Tujuh tahun lalu, ketika ia masih berpacaran dengan Vito.
Namun, sayangnya sekarang bukan tujuh tahun yang lalu.
Status telah berganti, belum kawin menjadi menikah.
Dulu Rere subjek dan sekarang ia hanya objek pendengar.
Atau objek penderita?

Hati Rere miris.
Siapa orang yang berhasil membuatnya deja vu?
Siapa orang yang berhasil merebut 7 malam Vito yang harusnya dilewatkan bersamanya?
Rere bertanya, sekaligus menangis.
Dua pekerjaan hati yang harus dikerjakan sekaligus saat ini.
Dan itu berat.
Karena ditambah menahan pompa air mata.
Dan sekarang pompa itu sudah mengalir deras.
Rere mulai menangis, tanpa suara.

Ia balik ke kamar dan pura-pura tidur agar Vito tidak tahu.
Dan benar, ia mendengar suara Vito yang bersiul senang sambil menghampar selimut.
Dan tidur dengan tenang.
Rere semakin tidak tenang.

Vito bangun dengan segar dan langsung menuju kamar mandi.
Tanpa ucapan selamat pagi seperti dahulu kala.
Rere terbangun, atau memang ia tidak tidur sama sekali.
Dengan sekuat tenaga ia mencari akal.
Dimana seluler Vito? Ia harus menemukannya.
Dengan harapan hatinya akan tenang.
Spekulasi, makin tenangkah atau tidak tenang?
Seluler itu tergeletak begitu saja.
Mengumpulkan sisa-sisa tenaga, Rere mengambil dan melihat panggilan keluar.
Ada satu nama.
Perempuan.
Aliska.

Rere mematung. Aliska? Siapa dia?
Ia memutar otaknya yang kosong.
Berusaha membangkitkan memori secara rinci.
Apa pernah ia mengenal Aliska? Atau teman Vito? Saudara mungkin?
Tidak, tidak ada nama Aliska sebelumnya dalam hidup.
Lalu siapa Aliska ini?
Bergegas ia mencatat nomor Aliska tersebut sebelumVito selesai mandi.
Dan ia akhirnya berhasil.
Walau dalam hati masih bertanya siapa Aliska.

Dalam keraguan, Rere mulai menekan nomor yang tadi pagi ia catat.
Nomor rumah, depannya 021. Bukan seluler.
Tagihan seluler Vito pasti membengkak, ujarnya sambil menyesal.
Menyesal karena seharusnya dari uang itu, ia bisa pakai untuk kebutuhan rumah tangga.
Bukan dengan menelepon wanita misterius ini.
Tanpa sadar diujung sana terdengar suara.

"Haloooo" ucapan panjang dan ramah. Suara wanita tua.
Ragu-ragu Rere menjawab "Halo, eh eh..."
Kemudian ia bertanya tentang Aliska. Spontan wanita itu berteriak memanggil nama yang telah beberapa jam lalu Rere benci.
"Tunggu sebentar ya. Pasti mau nanya tentang tahun ajaran baru ya? Dateng aja kesini."
Hah? Datang? Apa maksudnya?
Jadi wanita itu guru? Tapi, anak-anak tak ada yang punya guru bernama Aliska.
Dengan cepat wanita diujung sana memberikan alamat rumah.
Dan dengan ramah mengakhiri "Kami tunggu ya di Sekolah Kasih."

Rere bingung. Apa maksudnya ini semua?
Atau Vito mau memindahkan anak mereka ke sekolah yang baru?
Tidak mungkin. Uang sekolah anak-anak sudah lunas hingga akhir tahun ajaran berikutnya.
Lalu, apa ini? Sekolah Kasih? Belum pernah dengar.

Namun keputusan sudah tekad.
Wanita ini lah yang telah mengambil malam-malamnya bersama Vito.
Ia akan datang, bukan untuk menuntut balik.
Karena waktu tidak dapat diputar.
Namun setidaknya, tak akan ada lagi malam yang direbut darinya.

Dan sampailah ia di sebuah rumah kecil nan asri.
Yang berada jauh dari keramaian metropolitan.
Bangunan yang kecil namun memiliki ladang luas nan hijau.
Seperti negeri dongeng.
Dan betapa kecewanya Rere, karena pemandangan ini terlalu indah untuk wanita yang bernama Aliska itu.

Ia mengetuk pintu, tak dijawab.
Ada bel kuno, ia menariknya dan berbunyi merdu.
Pintu terbuka. Wanita berusia 50an menyambutnya.
"Selamat datang di Sekolah Kasih."
Sekolah Kasih? Ini sekolah?
Bagi Rere, bangunan ini hanya sebesar garasi mobil dan taman belakang rumah saja.
Namun, ada magnet begitu kuat di dalamnya.
Begitu masuk, disain ruangan bernuansa Eropa, lengkap dengan lemari buku dan perapian menghangatkan siapapun tamu yang datang.

Rere terkagum. Ia belum pernah merasakan seperti ini.
Ada kehangatan di rumah ini. Yang belum pernah ia rasakan.
"Ibu mau minum apa?" tanya wanita itu.
Rere gelagapan, dan akhirnya menjawab ingin mencari Aliska.
Wanita itu tersenyum dan memohon Rere menunggu.
Ia memanggil Aliska di ruangan lain.

Lima menit kemudian, sekitar 20an anak keluar dan menyerbu taman belakang.
Ada suara wanita berkomando "Jangan lupa mainkan alat musiknya!"
Rere semakin bingung, seperti terjebak di sebuah dunia yang aneh, namun nyaman.
Anak-anak itu ada yang membawa suling, pianika, harmonika, gitar bahkan biola.
Mereka memainkan alat musik masing-masing dengan merdu.
Walaupun ada sebagian tak berirama.
Namun yang manis, mereka memainkannya di tengah-tengah pohon melon, bunga
dan segala tanaman hidup.
Seperti mengadakan komunikasi dengan tanaman.
Indah, ujar Rere dalam hati.

Dan seketika itu juga, keluarlah seorang gadis muda dengan digiring oleh wanita tua.
Dengan kursi roda.
Kakinya hanya satu, namun pakaian gadis itu membuat siapapun tak akan melihat kekurangannya itu.
"Saya Aliska. Kata nenek, Ibu mencari saya?" tanyanya ramah.
Rere terdiam. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Hanya memandangi gadis itu dengan iba.
Dan beberapa saat, beberapa anak mengerubuti Aliska sambil bertanya bagaimana tanaman bisa tahu bahwa mereka main musik dan nada yang indah.
Aliska dengan sabar menjawab penuh bijak dan lemah lembut.
Wanita tua yang ternyata neneknya segera menyiapkan makanan semacam bubur untuk anak-anak tersebut.

"Mereka anak-anak jalanan dulunya. Ada beberapa yatim piatu."
"Saya ajak mereka ke rumah ini. Ini rumah saya. Saya kesepian."
"Jadinya saya bikin sekolah. Nenek yang memberikan nama sekolahnya."
"Di sekolah ini cuma ada pelajaran matematika, biologi, fisika, inggris sama musik."
"Mereka makin hari makin banyak yang datang. Saya jadi kewalahan."
"Apalagi banyak orang tua yang menitipkan anaknya kesini. Ada yang bandel trus disini jadi berubah. Saya juga gak tahu kenapa."
Ia bercerita dengan semangat menggebu-gebu.
Aliska ternyata mengidap penyakit yang harus mengorbankan kakinya diamputasi.
Orang tuanya meninggal karena kebakaran rumah dan harta berharganya sekarang hanyalah neneknya. Dan Sekolah Kasih.
Ia hanya satu-satunya guru disini.
Kehilangan kaki juga membuatnya kehilangan percaya diri.
Sehingga ia tidak melanjutkan ke perguruan tinggi.

Sepulang dari Sekolah Kasih, Rere termenung.
Ia tidak habis pikir, mengapa suaminya ternyata berhubungan dengan gadis cacat seperti itu.
Apa maksudnya?
Vito pulang ketika Rere masih termenung sekian lama.
Menangkap keanehan istrinya, Vito menghampiri dan bertanya apa yang terjadi.
Mulai berkaca-kaca, Rere bertanya pelan kepada suaminya.
"Kenapa harus dia? Aliska?"
Vito tersentak. Ia terdiam. Darimana Rere tahu?
Rere mendesak, meminta sebuah jawaban.
"Apa kekurangan aku, Vito? Apa?"
Vito akhirnya menjawab.
"Tidak Rere. Kamu tidak punya kekurangan sedikitpun. Kamu sempurna."
"Kamu sempurna, sayang. Sangat sempurna. Istri yang baik, ibu yang pengasih."

Rere diam.
"Lalu kenapa kamu memilih dia, Vito?"
Sejenak, mereka sama-sama terdiam.
"Karena....... bersamanya aku tidak harus menjadi sempurna..."

Selasa, 02 Desember 2008

tentang HIDUP part II

aku lelah dengan semua ini.

tolong.

aku lelah berlari.

bahkan untuk berjalan pun tidak sanggup.

bukan, bukan karena kakiku.

tapi karena otak dan hatiku.

karena dua itulah yang membuat manusia HIDUP.

jika otak mati, orang bisa sinting.

jika hati mati, orang bisa menjadi pembunuh.

dan sekarang, dua-duanya sekarat.

hampir mati.

aku lelah.

tolong.

Senin, 01 Desember 2008

HUJAN...

Namanya HUJAN.
Ia tidak pernah datang sendiri, selalu bersama-sama.
Ia hampir menjadi pasangan sehidup semati MENDUNG.
MENDUNG selalu dikaitkan dengan HUJAN.
Namun MENDUNG tidak pernah selalu ingin menjadi pasangan HUJAN.
Makanya terkadang kita sering melihat MENDUNG tanpa HUJAN.
Dan ketika itulah HUJAN tidak ceria.
Ia sering kali mengurungkan niatnya untuk mengeluarkan air kebahagiaannya.
Sebaliknya, jika MENDUNG tiba, HUJAN akan bergembira seraya mengeluarkan semua energi kebahagiaannya dalam bentuk air.

MENDUNG selalu murung. Banyak cerita kesedihan yang selalu dibawanya.
Namun bagi HUJAN, itulah daya tarik MENDUNG.
Bagaimana membuat kekasihnya itu tak lagi murung, yaitu dengan airnya.
Bagi HUJAN, mengeluarkan energi dari tubuhnya dalam bentuk tetesan air adalah bentuk penghiburan bagi MENDUNG.
Dan itu berhasil.
Setidaknya MENDUNG ingin bersama HUJAN, menceritakan semua kesedihan pada HUJAN.
HUJAN selalu menjadi telinga MENDUNG.
Tiap detik ia mendengarkan keluh kesah MENDUNG.
Dan kemudian HUJAN akan menghiburnya dengan tetesan air.

Terkadang jika MENDUNG murung hanya sebentar, tetesan HUJAN hanya sebentar berwujudkan rintik-rintik.
Namun jika dari pagi MENDUNG sudah murung, HUJAN akan tak henti-hentinya menghibur hingga deras, bahkan rela seharian melepas air energi kebahagiaannya.

Dulu HUJAN murah hati.
Sekarang ia hampir selalu murung.
Mengapa?
Karena ia sedih.
Hampir setiap hari ia melihat MENDUNG.
Tapi MENDUNG yang ia lihat sekarang ini tidak mengundangnya untuk datang.
Tidak juga bisa bercerita seperti MENDUNG biasanya.
Padahal MENDUNG yang biasanya selalu bercerita pada HUJAN.
Dan HUJAN selalu siap menjadi telinga MENDUNG.
HUJAN tidak tahu bahwa MENDUNG yang dilihatnya ternyata hanyalah awan hitam akibat polusi udara.
HUJAN hanya tahu bahwa ketika MENDUNG muncul, tandanya kekasihnya itu datang.

Suatu hari HUJAN bertanya pada MENDUNG.
"Mengapa belakangan ini banyak yang menyerupai dirimu? Aku kira kamu ingin aku datang."
MENDUNG bingung. MENDUNG terdiam. Ia tidak menjawab.
HUJAN melanjutkan.
"MENDUNG, kau lah yang menemaniku selama ini. Aku rela mengeluarkan semua energiku, hanya untukmu. Apa yang sedang kamu rasakan sekarang? Ceritakan padaku."

MENDUNG menjawab lirih.
"Aku tidak tahu. Aku rasa akan banyak MENDUNG-MENDUNG lain yang akan menemanimu. Aku akan pergi, mulai detik ini dari dirimu, HUJAN. Agar semua orang tidak mengidentikkan kita selalu bersama. Karena itu, aku bersyukur banyak yang menyerupai MENDUNG belakangan ini."

HUJAN gelisah. "Mengapa, MENDUNG? Kamu tidak mencintaiku?"

Jawab MENDUNG. "Bagiku, cinta bukan sesuatu yang identik. Bukan pula sesuatu yang harus berdua. Cinta itu individu. Dirimu merasakan cinta, diriku pun juga merasakan cinta. Jika cinta itu artinya berdua kemana-mana, lalu apa bedanya cinta dengan kembar siam? Aku lelah, HUJAN. Lelah dengan stigma semua orang bahwa aku ada untukmu, begitupun sebaliknya. Aku hanya ingin menjadi diri sendiri. Tanpa perlu dikaitkan dengan kamu."

HUJAN tertunduk. Lesu. Mengapa ini terjadi? Apa MENDUNG tidak bahagia?
Namun HUJAN sadar, bahwa ia harus tetap membahagiakan MENDUNG, sekalipun keputusan MENDUNG membuatnya sakit.
Karena HUJAN merasa bahwa cinta adalah MENDUNG.
Dan ia berusaha menerima semua perkataan MENDUNG, cinta itu bukan berdua.

Lalu MENDUNG pun pergi. HUJAN perlahan menyurutkan airnya sepeninggal MENDUNG.

Dan kemudian diganti dengan TERANG.

HUJAN tidak suka TERANG.
HUJAN merasa TERANG terlalu membuatnya kering untuk mengeluarkan semua energi airnya itu.
Padahal TERANG selalu tersenyum untuk HUJAN, beda dengan MENDUNG yang murung namun bagi HUJAN lebih manis daripada senyuman TERANG.

Dan HUJAN pun pergi. Berusaha mengingat paras MENDUNG yang murung.
Berusaha mengingat kembali semua kenangan bersama MENDUNG.
Dan berusaha sekuat tenaga mengejar MENDUNG itu kembali.
Kali ini untuk membuktikan perkataan MENDUNG.
Bahwa cinta itu bukan berdua kemana-mana.
Tapi cinta itu adalah mendengar.
Cinta itu selalu ada disamping individu tersebut, yakni MENDUNG.

u don't have to be with me everytime, all i need is ears....