Senin, 24 Februari 2014

Ia dan Lelaki

Bubuk kopi itu berceceran lagi. Ia tidak fokus. Sementara si lelaki mandi, ia lebih banyak merenung. Ritual membuat kopi sudah menjadi rutinitas setiap pagi. Ia tak pernah mengeluh. Ia menikmati saat-saat mengaduk bubuk dan gelas beradu dengan sendok. Hanya ada suara ting yang terkadang bisa menggema mengisi seluruh ruangan kamar.

"Kamu kemana hari ini?" tanya si lelaki seperti biasa. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dengan berjubahkan handuk.

"Ngantor."
"Ngantor kok tiap hari sih, yang."

Ia tersenyum datar. Iya, saya ngantor bukan istrimu. Ujarnya dalam hati.
Seakan bisa membaca pikirannya, si lelaki kemudian berucap.
"Kamu ndak mau jadi bojoku. Kan ndak usah ngantor. Ta kasih duit thok. Wis kelar."

Lagi-lagi ia tersenyum.

Bukan.. Bukan ini yang ia cari.
Dengan berpura-pura mengambil handuk bekas si lelaki, ia masuk ke kamar mandi untuk berbenah.
Namun yang ia lakukan hanya menutup pintu dan berdiri.
Raganya memang di depan kaca, namun jiwanya ada entah dimana.
Ia menutup mata.

Teringat tiga tahun lalu ketika berjumpa dengan cintanya. Yang ia putuskan karena hal biasa. Yang membuat ia menyesal luar biasa. Yang membuat hatinya patah. Yang mengakibatkan otaknya terpecah. Ia masih sayang padanya. Ia rindu walau kadang berbalut ragu.

Dan kini ia masuk ke dalam perangkap kehidupan. Entah ini cinta segitiga atau apa namanya. Ia disayang si lelaki. Si lelaki yang ternyata atasan cintanya. Si lelaki yang memiliki kuasa atas hatinya.

Tahun lalu ia bertemu dengan si lelaki. Yang terkenal penuh kontroversi. Namun ternyata adalah sosok yang murah hati bahkan selalu memberi. Ia kagum. Namun ia tak pernah mencintai si lelaki yang lebih cocok dianggap orang tuanya sendiri. Perbedaan usia yang jauh membuat ia berpikir beribu kali. Ia tahu sang lelaki bisa nekat. Ia tahu sang lelaki memiliki berbagai tipu muslihat. Ia tau sang lelaki bisa saja menjerat.

Namun, ia juga tahu cintanya lebih hebat. Dari apapun. Sampai kapanpun.

Si lelaki mulai menghampiri, bingung ditinggal sendiri. 
"Bulan depan kita jalan-jalan ya."
"Iya.." ucapnya lirih.

"Yo wis ta pergi rapat dulu. Nanti malam aku maunya makan rawon ya, yang. Beliin lho."

Si lelaki mendaratkan kecupan di pipi dan dahi.

Ia tertegun. Si lelaki akan bertemu cintanya tanpa tahu ia memiliki rasa.

Ia masih sayang padanya. Ia rindu walau kadang berbalut ragu.

-Grand Melia-

Februari 2013

Tidak ada komentar: