Kamis, 18 Oktober 2012

Ada seseorang

Ada seseorang.. Yang selalu memperhatikanmu dari jauh. Yang selalu memikirkanmu dari jauh. Yang selalu mengkhawatirkan keadaanmu. Yang selalu mengintip kontakmu dan bergumam 'sedang apa ya kamu?' Yang berdoa untukmu, bukan untuk berdua. Yang ingin selalu bersamamu. Yang menerima dirimu apa adanya. Walaupun.. Ia terluka. Ia kecewa. Ia marah. Ia pernah berteriak kepadamu. Ia sering menangis karenamu. Ia sering hampir putus asa. Ia sering mengelus dada. Ia pernah memutuskanmu. Ia berulang kali mengucap selamat tinggal kepadamu. Ia berulang kali menghapus kontakmu. Ia berulang kali menyakitimu. Ia berdoa agar dijauhkan dan dibahagiakan dengan jalan masing-masing. Ia pasrah. Tapi.. Dua tahun tak pernah berubah. Dua tahun tak mau berubah. Dua tahun tak akan berubah. Tak mau mengubah atau diubah. Dua tahun tak pernah berganti. Dua tahun tak mau berganti. Tak mau mengganti atau diganti. Ada seseorang.. Untuk kamu. -seseorang-

Selasa, 10 Juli 2012

Dua tahun lebih berlalu. Dua minggu sudah tidak bertemu. Entah ada apa tiba-tiba semua terputus oleh waktu. Hingga suatu hari, ada sebuah lagu. Menampar dengan kata tidak akan menyerah. Terhenyak dan menghela nafas. Ini hanya sekian lagu yang berhasil memproduksi kegalauan tingkat tinggi. Menjual mimpi dan kata-kata imajinasi. Tapi, toh tertampar juga. Hingga akhirnya ada kesimpulan pendek. Mengikuti sang pembuat lagu, tidak akan menyerah. Sekali lagi, tidak menyerah. Sekali lagi mengemis hati kamu. Sekali lagi dari beribu-ribu sekali lagi sebelumnya, meminta kamu. Entah itu namanya balikan, atau namanya memulai. Intinya bukan disini, tapi di hatimu. Terlalu banyak kata di kepala, tapi tidak mengeluarkan bunyi apapun. Terlalu banyak pertanyaan, tapi tidak sinkron dengan jari. Yah, ini hanya akan menjadi sebuah hari lain yang diberi kata kunci galau. Kata yang menjadi agitasi murahan. Dan makin tanpa makna. Karena saya sebenarnya bukan galau. Tapi saya sakau. Sakau kamu. Jakarta, menjelang 1 bulan ulang tahunmu yang ke-32.

Rabu, 02 Mei 2012

Hampir

Hampir pukul dua belas. Hampir tidak jadi menulis ini. Hampir saya putus asa dengan dia. Tunggu. Bukan hampir. Tapi bukan juga nyaris. Sudah beribu jam terbuang, beratus hari mengambang dan berjuta air mata menguap. Entah ini biru, atau ini sudah menjadi merah. Entah ini masih laut tenang atau sebenarnya jauh lebih ke dalam, anak gunung yang siap meletus. Semacam ada konspirasi antara jemari dan hati, sehingga selalu merasa gatal untuk memulai komunikasi. Padahal, bisa saja lebih baik tidak mengetik agar tak jadi pemantik. Lebih baik tidak bicara agar tak jadi perkara. Setiap malam selalu begini. Menunggu besok pagi bangun tanpa motivasi karena ada yang menggantung. Ingin tidak bangun lagi, tapi pasti itu pilihan bodoh. Bunuh diri berarti menyerah. Dan saya tidak mau menyerah, apalagi dibilang pengecut. Harusnya ini masalah sepele. Toh, memang sudah bukan siapa-siapa lagi. Bukan apa-apa lagi. Sekali lagi, harusnya. Tapi, ada kata seharusnya, berarti ada kata faktanya. Ya, faktanya ini bukan masalah sepele. Jika sepele, saya tidak akan malas bangun lagi. Jadi apa? 25 bulan untuk apa? Entah ini biru, atau ini sudah menjadi merah. Tidak tahu harus jadi laut tenang atau jadi gunung yang ingin berang. Konspirasi jemari dan hati mulai lagi. Mulai mengetik di alat komunikasi yang seakan membuat jarak tidak ada. Jarak harafiah, tapi jarak hati malah semakin jauh. "Maaf." Satu kata. Cukup. Saya libas tangan sendiri agar tidak ada kata lain lagi. Hampir pukul dua belas. Hampir tidak jadi menulis ini. Bukan galau. Hanya hampir putus asa dengan dia