Rabu, 02 Mei 2012

Hampir

Hampir pukul dua belas. Hampir tidak jadi menulis ini. Hampir saya putus asa dengan dia. Tunggu. Bukan hampir. Tapi bukan juga nyaris. Sudah beribu jam terbuang, beratus hari mengambang dan berjuta air mata menguap. Entah ini biru, atau ini sudah menjadi merah. Entah ini masih laut tenang atau sebenarnya jauh lebih ke dalam, anak gunung yang siap meletus. Semacam ada konspirasi antara jemari dan hati, sehingga selalu merasa gatal untuk memulai komunikasi. Padahal, bisa saja lebih baik tidak mengetik agar tak jadi pemantik. Lebih baik tidak bicara agar tak jadi perkara. Setiap malam selalu begini. Menunggu besok pagi bangun tanpa motivasi karena ada yang menggantung. Ingin tidak bangun lagi, tapi pasti itu pilihan bodoh. Bunuh diri berarti menyerah. Dan saya tidak mau menyerah, apalagi dibilang pengecut. Harusnya ini masalah sepele. Toh, memang sudah bukan siapa-siapa lagi. Bukan apa-apa lagi. Sekali lagi, harusnya. Tapi, ada kata seharusnya, berarti ada kata faktanya. Ya, faktanya ini bukan masalah sepele. Jika sepele, saya tidak akan malas bangun lagi. Jadi apa? 25 bulan untuk apa? Entah ini biru, atau ini sudah menjadi merah. Tidak tahu harus jadi laut tenang atau jadi gunung yang ingin berang. Konspirasi jemari dan hati mulai lagi. Mulai mengetik di alat komunikasi yang seakan membuat jarak tidak ada. Jarak harafiah, tapi jarak hati malah semakin jauh. "Maaf." Satu kata. Cukup. Saya libas tangan sendiri agar tidak ada kata lain lagi. Hampir pukul dua belas. Hampir tidak jadi menulis ini. Bukan galau. Hanya hampir putus asa dengan dia